PENDAHULUAN
PT Nestle Indonesia menegaskan kasus pemutusan hubungan kerja karyawannya di pabrik Waru, Surabaya yang sempat melanda perusahaan beberapa tahun lalu telah selesai secara hukum. Perusahaan menegaskan selama ini Nestle selalu menaati hukum dan peraturan ketenagakerjaan dimanapun perusahaan beroperasi, termasuk di Indonesia.
“Tuduhan yang menyatakan bahwa PT Nestle Indonesia telah mengabaikan hak para bekas karyawan pabriknya di Waru, Surabaya, dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan mereka adalah tidak benar,” kata Head of Public Relation, Nestle Indonesia, Brata T Harjosubroto dalam keterangan tertulisnya kepada Liputan6.com, Jumat (8/2/2013).
Seperti diberitakan sebelumnya, komisi IX DPR bakal memanggil Nestle Indonesia terkait masalah PHK pegawai di salah satu pabriknya di Waru, Pasuruan. Anggota Komisi IX DPR, Poempida Hidayatulloh menuding keputusan PHK merupakan keputusan sepihak yang tak didasari kaidah aturan yang berlaku.
Terhadap informasi tersebut, Brata menjelaskan seluruh 245 bekas karyawan pabrik di Waru telah menandatangani kesepakatan bersama PHK dengan Nestle Indonesia pada 15 April 2000. Perusahaan memastikan seluruh pembayaran pesangon dan hak-hak mereka lainnya telah tuntas.
PHK sendiri dilakukan berkaitan rencana penutupan pabrik Waru di tahun 2002 dan pengintegrasian fasilitas produksinya ke pabrik di Kejayan, Pasuruan.
“Pabrik di Waru tersebut ditutup dan diintegrasikan dengan pabrik di Kejayan, Pasuruan, mengingat wilayah Waru telah berkembang menjadi daerah pemukiman dan kurang memadai untuk kegiatan industri serta tidak memungkinkan dilakukannya perluasan pabrik.” kata dia.
Kronologis PHK
Dalam kasus PHK karyawan Waru, Nestle Indonesia memastikan telah mengikuti seluruh prosedur dan ketentuan yang diatur dalam hukum Indonesia. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada waktu itu, yaitu pasal 3 UU no. 12 tahun 1964 tentang PHK di Perusahaan Swasta, PT Nestle Indonesia telah mengajukan permohonan ijin PHK kepada Panitia Penyelesaikan Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) di Jakarta, dan P4P pada 1 Oktober 2002 telah mengeluarkan putusan nomor 1660/1578/232-6/XIII/PHK/10-2002 yang memberikan izin kepada PT Nestle Indonesia untuk melakukan PHK terhadap 245 bekas karyawan pabriknya di Waru terhitung sejak diterimanya pembayaran uang pesangon dan hak-hak lainnya sesuai kesepakatan bersama tentang PHK yang ditandatangani oleh Pengusaha dan masing-masing bekas pekerja.
Pada 7 Januari 2003, sejumlah mantan karyawan yang mewakili 215 orang bekas karyawan PT Nestle Indonesia mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Pada 18 Desember 2003, pihak pengadilan menolak permohonan banding para bekas karyawan pabrik di Waru dan menyatakan putusan P4P adalah sah dan benar.
Selanjutnya para bekas karyawan kembali mengajukan Memori Kasasi ke Mahkamah Agung RI pada 12 Januari 2004. Lewat putusan perkara 128K/TUN/2006, MA menyatakan menolak permohonan kasasi para bekas karyawan pabrik di Waru tersebut, dan putusan Mahkamah Agung RI tersebut telah berkekuatan hukum tetap.”Dengan adanya putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, maka tidak ada lagi permasalahan hukum berkenaan dengan PHK terhadap 245 bekas karyawan pabrik di Waru,” kata dia. Ombudsman RI, yang menerima pengaduan dari dua bekas karyawan pabrik di Waru, telah mendapatkan penjelasan tertulis dari kuasa PT Nestle Indonesia, Kemalsjah & Associates, melalui surat no. 6735/0141.001/KS-yl tanggal 22 Januari 2009 perihal PHK tersebut dan tidak ada korespondensi lanjutan setelahnya. (Shd/Igw)
TEORI
Menurut Tulus (1993), pemutusan hubungan kerja (separation) adalah mengembalikan karyawan ke masyarakat. Sedagkan menurut Hasibuan (2001) pemberhentian adalah pemutusan hubungan kerja seseorang karyawan dengan suatu organisasi (perusahaan). Dari beberapa pegertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan pemberhentian karyawan dari suatu perusahaan sehingga antara karyawan dan perusahaan(organisasi) tidak ada hubungan lagi.
ANALISIS
Menrurut saya,dalam hal PHK yang terdapat di contoh kasus diatas dan berdasarkan pula dengan etika bisnis,banyak sekali yang menjadi penyebab.Unjuk rasa adalah perusahaan secara sepihak mem-PHK karyawan. Itu membuat para karyawan menjadi marah atau tidak terima. Padahal secara etika dalam suatu bisnis.Hubungan antara perusahaan dan karyawan harus saling sinergi dan menguntungkan. Sehingga keharmonisan bisa menciptakan kualitas pekerjaan menjadi lebih baik.Ketimpangan inilah yang membuat karyawan unjuk rasa dan terkadang membuat karyawan melakukan mogok masal .Tapi perusahaan juga tidak bisa disalahkan begitu saja karena perusahaan pun harus melihat kondisi perekonomian,penjualan dan biaya biaya lain yang ditanggung,contoh,apabila pesanan produksi menurun dan perusahaan tetap mempekerjakan karyawan dengan jumlah biasa itu akan menyebabkan membengkaknya biaya operasional.
Maka dari itu menurut saya para direksi perusahaan,karyawan dan serikat pekerja harus duduk bersama mengambil solusi yang bisa sama sama menguntungkan bagi kedua belah pihak,karena apabila hal ini terus berlanjut akan membuat suasana makin keruh dan perusahaan bisa terganggu operasionalnya.Tapi apabila kedua belah pihak tidak bisa menemukan kesepakatan.Salah satu jalur yang akan diambil melalui jalur hukum.